“DUA HATI, DUA JIWA”

— No.: 38/9/XXV/2024 | Minggu, 22 September 2024| Bahan: Yunus 4:1-11  –

Jemaat yang terkasih saat ini kita memasuki bulan Perdamaian GGKMI Minggu ke 4 yang terambil dari Kitab Yunus 4:1-11 dengan tema: “Dua hati, Dua jiwa”. Pertobatan penduduk Niniwe sampai sekarang masih dipandang sebagai kebangunan rohani terbesar dalam Sejarah, semua orang dari yang paling tinggi, rendah, anak-anak dan bahkan sampai dewasa datang mereka datang kepada Tuhan. Pertobatan ini terjadi kepada bangsa yang paling kejam dan melalui khotbah yang paling singkat, namun tidak sulit untuk melihat keajaiban anugerah Tuhan bagi penduduk Niniwe. Melihat ini sewajarnya disyukuri oleh semua orang, terutama si Pengkhotbah, namun dalam kenyataannya justru Yunus satu-satunya yang tidak bersyukur, bukan hanya tidak hanya bersyukur Yunus juga kesal dan marah kepada Tuhan.

Dalam teks Ibrani, perasaan Yunus diungkapkan dengan cara yang lebih menarik, Kata “Kesal”, di ayat adalah ini adalah rā’â, yang bisa berarti “Jahat/malapetaka atau kesal” (4:6). Kata ini muncul dua kali di 4:1. Jika diterjemahkan secara harafiah, ayat ini berbunyi: “Ini sebuah kejahatan/kekesalan/ malapetaka bagi Yunus, sebuah kejahatan atau kekesalan/malapetaka yang besar, lalu marah-lah ia tentang hal ini”.

Dalam kemarahannya yang besar, Yunus meminta Allah untuk mencabut nyawanya (ayat 3). Yunus berkata: “aku lebih baik mati daripada hidup”, Yunus mengungkapkan isi hatinya: ia lebih rela menutup mata selamanya daripada menyaksikan pertobatan dan keselamatan orang-orang jahat. Walaupun dia tahu bahwa pertobatan selalu direspons Tuhan dengan penyesalan, Yunus tidak pernah “Pupus harap”. Dia sengaja menunggu di luar kota sampai durasi 40 hari terlampaui (ayat 5). Siapa tahu malapetaka masih bisa menimpa kota itu. Pilihan untuk tinggal di luar tembok kota mungkin dimaksudkan sebagai upaya menyelamatkan diri apabila hukuman benar-benar tertimpa atas kota itu. Pengharapan yang luar biasa itu ternyata keliru.

Mengapa Yunus dapat menjadi seperti ini? Penjelasan berikut ini akan menunjukkan bahwa kita pun kadangkala menjadi monster religios-psikologis yang menakutkan. “Ada beberapa faktor yang kita perlu cermati dan waspadai”

  1. Melupakan anugerah Tuhan.

Keyakinan Yunus bahwa orang jahat harus dihukum oleh Tuhan tidak selaras dengan pengalaman hidupnya sendiri. Pelariannya dari panggilan mengungkapkan keburukannyan, bahkan di mata orang-orang asing di kapal, sikap Yunus tersebut sama sekali tidak bisa diterima. Jika Tuhan selalu menghukum orang jahat, bukankah Yunus seharusnya menjadi objek pertama dari murka Allah? Bagaimana mungkin seorang yang baru saja bersyukur atas kasih karunia Tuhan kini justru mempersoalkan kasih karunia itu? Anugerah Allah atas Yunus bahkan jauh lebih besar daripada atas penduduk Niniwe. Yunus tidak menunjukkan pertobatan selama berada di atas kapal. Tidak ada ketakutan terhadap hukuman Allah dalam dirinya. Dia bahkan sama sekali tidak berdoa kepada Tuhan. Penduduk Niniwe jelas lebih baik daripada dia, karena mereka takut dengan ancaman hukuman, bertobat, dan berdoa kepada Tuhan.

  1. Berpusat pada diri sendiri

Doa Yunus di ayat 2-3 dalam teks memuat tidak kurang dari sembilan kali kata ganti “aku”. Di antara semua pemunculan ini, kata “Telah kukatakan”, kata ini muncul dalam bentuk kata benda, sehingga secara harafiah seharusnya diterjemahkan “Perkataanku”. Dari terjemahan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pada awalnya Yunus sempat berdebat dengan Tuhan. “Perkataan Tuhan” datang kepada Yunus (1:1), namun Yunus pun mengutarakan perkataannya kepada Tuhan (4:2). Perkataan Tuhan VS perkataan Yunus. Dia merasa berhak untuk berdebat dengan Tuhan, dia merasa berhak untuk menjadikan perkataannya sebagai standar kebenaran. Perkataan Yunus “Lebih baik aku mati daripada hidup” (4:3) semakin mempertegas egoismenya. Ukuran baik atau tidaknya sesuatu ditentukan oleh dirinya sendiri. Bagi dia kematian lebih nyaman daripada kehidupan yang tidak sesuai harapan. Pointnya adalah, kenyamanan telah diletakkan di atas kebenaran, itulah ciri-ciri orang yang berpusat pada dirinya sendiri.

  1. Gagal memahami nilai manusia

Kesalahan utama dalam diri Yunus adalah konsepnya yang rendah tentang penduduk Niniwe. Bagi dia, mereka tidak lebih daripada sampah dunia yang perlu dimusnahkan. Tidak ada yang baik dalam diri mereka. Tidak ada alasan rasional untuk mempertahankan kehidupan mereka. Kesalahan inilah yang hendak dikoreksi oleh Tuhan. Fakta bahwa Yunus sangat bersukacita atas perteduhan yang disediakan oleh Tuhan melalui pohon jarak menunjukkan bahwa terjemahan “Pondok” (LAI: TB) di ayat 5 tidak terlalu tepat. Yunus hanya sekadar merangkai tangkai-tangkai tanaman sebagai tempat berteduh seadanya, lalu Tuhan menyediakan sesuatu yang lebih baik melalui pohon jarak. Yunus sangat terhibur dan bersukacita dengan hal ini.

  1. Kurang berbelas kasihan

Ungkapan “Tidak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri” (11) menyiratkan pengetahuan moral yang sangat rendah dari penduduk Niniwe. Mereka dapat diumpamakan seperti anak-anak kecil yang tidak mampu membedakan yang baik dan yang jahat. Dengan kata lain, mereka tidak seberuntung bangsa Yehuda maupun Israel. Tidak ada Hukum Taurat di Niniwe. Kejahatan bagi mereka sudah menjadi begitu lazim. Mereka bahkan mungkin tidak tahu alternatif lain dalam memperlakukan musuh-musuh mereka.

Mempertimbangkan faktor ini, Yunus seyogyanya tidak bersikap terlalu keras terhadap mereka. Mereka memang layak menerima pukulan, tetapi tidak terlalu banyak, sebab mereka tidak benar-benar mengetahui apa yang mereka perbuat. Seperti Tuhan Yesus di atas kayu salib, Yunus seharusnya berdoa: “Ya Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:24). Keinginan Yunus untuk menyaksikan kehancuran Niniwe menunjukkan isi hatinya. Tidak ada belas kasihan. Hanya ada kesombongan, egoisme, dan kemarahan.

Perenungan: Kitab Yunus sengaja ditutup dengan sebuah pertanyaan. Lebih tepatnya, kitab ini sengaja dibiarkan terbuka yang harus menjawab pertanyaan ini bukan hanya Yunus, melainkan semua kita para pembaca. Seberapa berhargakah jiwa-jiwa yang terhilang di matamu? Soli Deo Gloria.

Oleh: Ev. Yonathan Setiawan

share

Recommended Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *