“ANGGUR BARU DALAM KANTONG BARU”

— No.: 7/2/XXV/2024 | Minggu, 18 Februari 2024| Bahan: Markus 2:18-22 —

Ketika dalam masa pelayanan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, di bagian Markus 2:18-22 ini Tuhan Yesus diserang oleh ahli-ahli Taurat tentang puasa. Mereka mengatakan kepada Yesus bahwa murid-murid Yohanes Pembaptis dan orang-orang Farisi semuanya berpuasa tetapi murid-murid Tuhan Yesus tidak berpuasa. Sehingga dalam firman Tuhan ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

Pertama, puasa bukanlah hal yang asing bagi umat dari berbagai latar belakang agama yang berbeda. Akan tetapi, tidak sedikit orang menjalani puasa hanya sebatas kewajiban agama, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Farisi. Yesus tidak menentang apalagi menghilangkan puasa (ayat 20, bdk. Matius 4:2). Bahkan tradisi berpuasa dilanjutkan Gereja mula-mula (lihat Kisah Para Rasul 13:2-3; 14:23). Yesus meluruskan penghayatan maknanya.

Melalui perumpamaan, tentang secarik kain baru dan baju tua serta tentang kantong kulit tua dan anggur baru (ayat 21-22), Yesus memperingatkan orang Yahudi yang telah lama terjebak dalam ritual agama yang kosong. Mereka memang melakukan semua tuntutan agama, tetapi berdasarkan pemahaman yang keliru. Mereka melakukan itu bukan karena merasakan kebutuhan untuk bersekutu dengan Allah. Bahkan ada yang melakukan karena ingin pamer kesalehan. Sebab itu Tuhan menyatakan bahwa ritual agama yang membuat hubungan manusia dengan Tuhan jadi gersang seharusnya tidak digunakan. Roh Allah tak dapat bekerja leluasa dalam kegersangan demikian. Seharusnya puasa membawa manusia lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Puasa juga membawa perubahan dalam hidup. Tanpa perubahan moral puasa sia-sia. Tanpa transformasi hidup puasa menghina Allah (Yesaya 58:3-6). Peringatan Yesus kiranya membuat kita bercermin. Adakah kebiasaan ke gereja di hari Minggu dan waktu teduh setiap hari masih menyegarkan kerohanian kita? Atau kita melakukan semua itu karena sudah terlanjur menjadi kebiasaan dan kita merasa tidak afdol bila tidak melakukannya? Kiranya Roh Kudus menyegarkan dan membarui kita.

Kedua, Setiap kebiasaan keagamaan perlu dimaknai secara baru. Bukan hanya menjadi pengulangan tanpa makna, sebaliknya memampukan orang merasakan pimpinan Allah dalam kehidupan sehari-harinya. Jangan biarkan kehidupan keagamaan kita menjadi kegiatan tanpa makna yang diulang terus-menerus tanpa penghayatan. Jangan lakukan karena kebiasaan/kewajiban/terpaksa, tapi lakukanlah sebagai panggilan kita, lakukan dengan sukacita bukan sebagai beban. Ibadah yang kita lakukan hendaknya dipahami dan dihayati dengan makna yang benar. Hal tersebut bukan hanya akan membuat kita bersukacita, tetapi juga semakin dikuatkan dalam menjalani hidup sebagai umat Allah. Ibadah yang kita lakukan semestinya makin menjadikan kita tunduk pada kehendak-Nya, lebih mengasihi-Nya, dan akhirnya memuliakan-Nya.

Ketiga, esensi bukan ekspresi. Yang terpenting dari ritual-ritual ibadah yang kita kerjakan adalah bahwa kita memahami esensinya. Membandingkan bahwa berpuasa lebih rohani dari pada tidak berpuasa, adalah sebuah kekeliruan dan bentuk ketidakbijaksanaan. Sebab berpuasa adalah bentuk penyangkalan diri, dukacita, dan pertobatan akan dosa, bukan tentang pamer rohani seperti orang-orang Farisi. Begitu pun juga tentang berdoa dan bernyanyi, jika semua kita pahami esensi/maksud dasarnya, maka tidak ada perbedaan penting dari ekspresi yang kelihatan atas semua itu. Yang penting adalah apakah kita sungguh-sungguh berdoa kepada Tuhan dan bernyanyi untuk memuliakan-Nya.

Mari bijaksana dalam memandang ekspresi-ekspresi ibadah yang kita lakukan dan yang dilakukan oleh orang lain, tidak membandingkan mana yang benar dan salah, melainkan melihat pada kesungguhan hati kita dalam melakukannya. (Orang yang berpikirkan sempit selalu membandingkan antara ini dan itu. Kebijaksanaan membuat pikiran luas, melihat ini sebagai ini dan itu).

Keempat, perubahan membongkar status quo (keadaan tetap) dan kebiasaan. Tidak heran bahwa perubahan pasti dapat membuat orang-orang yang sudah ada di dalam zona nyaman menolak dengan keras. Zona nyaman mengambil banyak bentuk dalam hidup, budaya, dan tradisi manusia. Dunia berubah dengan sangat cepat. Teknologi informasi mendorong perubahan di hampir setiap aspek kehidupan manusia. Dunia menjadi kampung global karena semua informasi dapat dibagikan melalui ujung jari. Kita dipaksa menyesuaikan diri! Masalahnya, sering kali kita berpikir bahwa cara lama lebih baik daripada cara baru. Pola pikir kita (anggur lama) dibayangi keberhasilan di masa lalu (kantong lama). Kesuksesan pelayanan (anggur lama) di suatu gereja di masa lalu (kantong lama) sering dijadikan standar tanpa filter (penyaring). Tuhan Yesus berkata bahwa anggur baru hanya dapat disimpan dalam kantong baru. Perubahan tidak mudah, tetapi tidak terelakkan. Kita perlu unlearn (melucuti apa yang kita tahu) supaya dapat relearn (belajar lagi untuk menyesuaikan diri). Kantong Anggur yang baru adalah lambang dari diri kita (manusia lahir baru). Kita harus menjadi kantong anggur baru yang siap untuk diisi dengan anggur baru yang membawa kita kepada kehidupan Kekristenan yang sejati, yang bisa mengalirkan/ memberikan anggur baru itu kepada orang lain di sekeliling kita!

Kelima, butuh waktu untuk penyesuaian dan berubah (lentur tidak kaku). Perubahan-perubahan yang autentik dan bertahan lama tidak pernah terjadi secara otomatis. Pada umumnya kita harus menghadapi serangkaian penolakan bahkan kemunduran. Kita juga harus mengakui bahwa penolakan-penolakan tersebut tidak selalu buruk atau bermaksud jahat. Sepenggal sejarah dapat menerangi dan menegaskan jalan kita ketika kita memandang ke depan dan terus berjalan dalam semangat pembaruan. Seperti kata Paus Fransiskus kita perlu melakukan Accomodata renovatio (pembaruan yang disesuaikan) dalam hidup dan disiplin setiap lembaga hidup bakti, menurut tuntutan zaman kita sekarang.

Selamat menjalankan kehidupan peribabadatan yang sejati dan bukan hanya sebagai kebiasaan tetapi ibadah menjadi nilai hidup yang dihidupi setiap hari dalam kehidupan kita sehari-hari. Tuhan Yesus memberkati.

Oleh: Pdt. Yohanes Hermawan, S.Th.

share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *