“BERIMAN DENGAN SEDERHANA”

— No.: 15/04/XXVI/2025 | Minggu, 13 April 2025| Bahan: Yohanes 12:12-16

Dalam dunia tempat di mana kita hidup, yang viral; yang hebat; yang spektakuler, yang “wow,” semua hal itulah yang dianggap penting. Saat ini kita hidup di tengah dunia yang penuh dengan pencitraan. Tak dapat dipungkiri, bahkan dalam iman Kristen pun, terkadang kita berpikir harus mengalami mujizat besar, mimpi, nubuatan, atau hal-hal spektakuler untuk bisa merasa dekat dengan Tuhan. Padahal, sejatinya Tuhan tidak selalu melakukan hal-hal spektakuler dan fantastis dalam kehidupan kita. Seringkali Ia menolong kita melalui hal-hal yang sederhana, bahkan melalui hal-hal yang mungkin tidak kita sadari.

Minggu ini kita memasuki Minggu Palma. Dan dalam minggu palma ini kita menghayati penyambutan Yesus yang masuk ke Yerusalem untuk memasuki penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya. Di zaman itu, seseorang yang dianggap mulia & berkuasa biasanya diarak dengan menaiki kuda putih yang gagah. Mereka menaiki kuda perang yang gagah untuk menunjukkan eksistensi kekuasaannya. Namun cara Yesus menunjukkan kemuliaan-Nya sangatlah berbeda. Yesus tidak datang sebagai pemimpin dan penguasa secara politik, seperti yang di pikirkan oleh orang-orang yang menyambut-Nya pada saat Ia masuk ke Yerusalem. Namun Ia datang sebagai Raja Damai yang menunggang keledai, bukan kuda perang. Ia adalah Anak Domba, bukan singa penakluk. Saat itu orang banyak menginginkan pembebas dari penjajahan Romawi, tetapi Yesus datang untuk membebaskan manusia dari perbudakan dosa. Sebuah kedatangan yang sederhana, namun membawa kemenangan. Pertanyaannya bagi kita, apakah kita sudah menerima dan menyambut Yesus sebagaimana adanya Dia? Atau seperti orang banyak saat itu, kita menyambut dan menerima Yesus yang ada di gambaran dan ekspektasi kita?

Yesus Kristus yang adalah Raja segala raja, memilih keledai yang sederhana. Ia yang adalah Tuhan yang punya kuasa atas maut, namun rela mati bagi kita yang dikasihi-Nya. Dan karya keselamatan yang diberikan kepada kita, juga tidak dikerjakan dengan kekuatan politik atau militer, namun melalui Salib yang menjadi simbol kehinaan. Inilah Injil, Allah yang rela menjadi manusia, bahkan mati sebagai hamba. Marilah kita mengikuti teladan Tuhan kita, dan beriman dengan sederhana. Sebab, iman bukan berbicara soal seberapa besar dan spektakulernya pengalaman kita, melainkan seberapa dalam kita mempercayai kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan kita.

Oleh: Bp. Nicholas Evan Setiawan

share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *