“BERBAHAGIALAH ORANG YANG MISKIN DI HADAPAN ALLAH”

—- No.: 31/8/XXI/2020 | Minggu, 2 Agustus 2020 | Matius 5:3 —-

 

Orang yang miskin di hadapan Allah adalah orang yang berbahagia (ayat 3).

Ada kemiskinan rohani yang begitu menghalangi orang menerima berkat atau kebahagiaan, sehingga merupakan dosa dan jerat, seperti kekecutan hati dan ketakutan mendasar, serta kesediaan untuk menyerah pada hawa nafsu. Namun, kemiskinan jiwa yang disebut di sini adalah suatu keadaan jiwa yang mulia, di mana kita dikosongkan agar dapat diisi oleh Yesus Kristus. Menjadi miskin di hadapan Allah berarti:

Merasa puas di tengah kemiskinan, bersedia dikosongkan dari kekayaan duniawi jika hal itu menjadi kehendak Allah bagi kita, dan menilik keadaan kita saat kita sedang dalam kondisi yang kurang. Di dunia ini banyak orang yang miskin tetapi penuh keangkuhan, miskin dan sombong, dan menggerutu dan mengeluh, serta mempersalahkan nasib mereka. Namun, kita harus menyesuaikan diri dengan kemiskinan kita, kita harus tahu apa itu kekurangan (Filipi 4:12). Sambil mengakui kebijaksanaan Allah yang menentukan kita mengalami kemiskinan, kita harus tetap merasa nyaman, sabar menanggung kesukaran yang disebabkan kemiskinan itu, mensyukuri apa yang ada pada kita, dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Ini berarti merasa tidak terikat pada semua kekayaan duniawi, tidak mencondongkan hati kita kepadanya, tetapi dengan senang hati menanggung kerugian dan kekecewaan yang mungkin menimpa kita ketika sedang dalam kemakmuran.

Ini bukan berarti membuat diri miskin karena terdorong kesombongan dan kemunafikan, dengan membuang semua yang diberikan Allah kepada kita, seperti halnya yang dilakukan sebagian umat Kristen tertentu yang berikrar untuk hidup miskin, namun masih terpikat dengan berbagai kekayaan. Jika kita kaya di dunia, kita harus miskin di hadapan Allah. Artinya, kita harus bersikap rendah hati terhadap orang miskin dan ikut merasakan perasaan mereka, misalnya tersentuh oleh kelemahan mereka. Kita harus bersiap menghadapi kemiskinan, tidak boleh takut atau menghindarinya secara berlebihan, melainkan harus menyambutnya, terutama ketika kemiskinan itu menimpa kita untuk menjaga agar hati nurani kita tetap terpelihara (Ibrani 10:34). Ayub seorang yang miskin di hadapan Allah, ketika ia memuji Allah karena mengambil, maupun memberi.

Lanjut pembacaan renungan Matius 5:3 oleh Matthew Hendry ini dalam Matthew Hendry Commentary di Aplikasi tafsiran di Google Play Store.

Oleh: Ev. Indah Widjaja

share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *